Vinsensius Vermy : Pengabdi Masyarakat Adat

VINSENSIUS VERMY, kerap disapa Vermy. Dilahirkan di Kampokng (wilayah adat) Boti, kecamatan Sekadau Hulu, 15 Mei 1972. Setelah menamatkan SD di Rawak Hilir tahun 1984, Vermy kecil melanjutkan pendidikannya di SMPN I Kecamatan Sekadau Hulu. Setamat SMP Vermy meninggalkan Rawak, kota kecil yang membesarkannya, meneruskan pendidikannya di Sekadau. Ibu yang sangat dihormati dan dikaguminya menginginkan Vermy menjadi seorang guru. Demi menuruti ibunya ia mendaftar dan sekolah di SPG (Sekolah Guru) Sto. Paulus Sekadau, tamat tahun 1990. Baginya Sekadau adalah kota STAR (t), dari Sekadau Vermy memulai sebuah pertualangan, menempa diri menjadi sosok yang berdedikasi.

Berbekal simpanannya selama bekerja pada seorang rohaniwati dan sedikit uang simpanan ibunya, Vermy berangkat ke Pontianak, tak mengenal siapapun. Niat utamanya adalah bekerja sambil kuliah. Vermy menyadari keadaan ekonomi keluarganya, Vermy muda mendaftar diri di IKIP Pontianak (dulu, Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan, STKIP PGRI Pontianak). Tahun 1996, Vermy menyelesaikan perkuliahannya dengan predikat terbaik, bergelar Sarjana Pendidikan (S.Pd).  

Vermy telah mengukuhkan dirinya sebagai manusia yang haus akan ilmu pengetahuan. Membaca buku-buku adalah hoby utamanya. Beberapa buku penting masih tersusun rapi di meja kerja dan rak perpusatakaannya hingga kini. Ia juga tidak pernah bosan untuk mengikuti kursus, pelatihan, seminar dan terus menimba ilmu pengetahuan. Baginya harta termewah adalah pengetahuan.

Berikut beberapa kursus, pelatihan dan seminar penting yang pernah diikuti Vermy di dalam dan luar negeri.

  1. Peserta Training of trainer (TOT) Women Community Organizer,
  2. Training CO Se-Asia Tenggara,
  3. Studi KDRT Konteks Masyarakat Miskin Perkotaan di Bogor dan Jakarta,
  4. TOT Pengorganisasian Desa, Pengorganisasian Rakyat Se-Asia Tenggara, di Yogyakarta.
  5. TOT Conflict Resolution Resorces Nature, di Pontianak.
  6. TOT Strategic Planing (MBO theory) di Pontianak.
  7. TOT CO Training dengan Video sebagai Alat Pengorganisasian di Jogyakarta,.
  8. TOT Organizational Development & Salary system ORNOP di Pontianak.
  9. Studi Penanganan Kasus pada Masyarakat Adat Kenyah dan Iban di D.O. Belaga, Serawak-Malaysia. 
  10. Studi Pengorganisasian Masyarakat Melayu Pesisir di Samarahan, Kucing-Malaysia.
  11. Magang di IPDC-Indigeonous People’s Development Center, Malaysia.
  12. Studi Pengorganisasian Massa Berbasis Politik, di Kota Kuching, Malaysia difasilitasi oleh DAP-Democratic Action Party.
  13. Peserta Workhsop Panduan & Fasilitator Pendidikan Politik untuk Rakyat, di Yogyakarta.
  14. Workhsop Panduan & Fasilitator CO (Community Organizer), di Yogyakarta.
  15. Peserta Prepcom (Prepation Commitee) IV WSSD (World Summit Sustainable Development), di Nusa Dua–Bali. Workshop Dampak Perubahan Lingkungan & Pemanasan Global di Negara-Negara ke-3, di Sanur-Bali.
  16. Studi Pengembangan Media Televisi Komunitas (yang menjadi cikal-bakal Ruai TV Pontianak bersama S Masiun dan Damianus Siyok), di Kendari Sulawesi Tenggara.
  17. Magang di Radio Komunitas Suara Alam Kendari, di Sulawesi Tenggara.
  18. Studi Kasus Penyadaran Masyarakat, di kota Manila, Studi Pengembangan Masyarakat Sipil di Kota Baguio, Mountain Province, Philipina
  19. Training Pengorganisasian Politik Berbasis Budaya (Cordillera Day) di Kota Baguio, Mountain Province, Philipina.
  20. Training Legislasi Daerah dan Advokasi Kebijakan, di Bogor.
  21. Peserta magang Sekolah Lapangan di Jawa Barat.
  22. Peserta Training legal drafting Peraturan Daerah di Jakarta.
  23. Training Tehnik-tehnik Mediator Konflik Sumber Daya Alam di Bogor.
  24. Seminar Nasional Pengelolaan Hutan Lestari di Jakarta,
  25. Lokakarya Tenurial, Lokakarya Pembangunan Desa, berbasis Perhutanan Sosial di Makasar,
  26. Training Penulisan Policy Brief di Jakarta,
  27. Peserta Indigenous Peoples Assistance Facility (IPAF) Asia End of Project Assesment Workshop, in Mandaluyang City, Manila-Philippina.
  28. Training Capacity Building IP’s In Forest, Jakarta.

Sejak mahasiswa Vermy  adalah pegiat organisasi, keterlibatannya dalam berbagai organisasi dimulai dengan menjadi anggota Senat Mahasiswa (SEMA) STKIP-PGRI  Pontianak, pendiri Forum Komunikasi Mahasiswa Katolik (FKMK) Kodya Pontianak, pendiri dan Sekretaris Yayasan Harapan Mulia Pontianak. Niat kuatnya memberdayakan kaum lemah dan tertindas dibuktikan dengan mendirikan SMA terkenal di wilayah Punggur Pontianak, SMA Yos Sudarso, karena alasan tertentu SMA tersebut diambil alih oleh pihak lain.

”Pencaharian yang hilang” demikian Vermy menyebut perjalanannya, sehingga tahun 1996 bergabung dengan Lembaga Bela Banua Talino (LBBT), sebuah lembaga bantuan hukum Masyarakat Adat. Lembaga advokasi ini banyak sekali membantu masyarakat adat di seantero Kalimantan Barat yang hak-haknya dirampas akibat dampak pembangunan yang menindas. Disinilah Vermy membulatkan tekadnya mengabdi kepada Masyarakat Adat hingga saat ini. Kepeduliannya kepada kaum miskin dan tertindas memaksa Vermy meninggalkan ruang-ruang kelas sebagai guru.

Berbekal pengalaman sebagai guru dan aktivis LBBT. Vermy mengembangkan model penguatan rakyat dan jaringan dengan nama CDC (Community Development Centre). CDC merupakan satu-satunya model sistem penguatan kapasitas Masyarakat Adat dan  Organisasi Masyarakat Adat (OMA). Beberapa OMA kemudian terbentuk akibat model ini, diantaranya TAMBAI (Tanah Adat Menoa Bansa Iban) di Sungai Utik, STADES (Sarikat Tani Adat Dayak Desa) di Tapang Sambas, ARCF (Association Rubber and Coffee Farmer) berubah menjadi PUSAKA (Pusat Advokasi Kampokng) di Boti. Persatuan Masyarakat Adat Koman di Tamang dan Cenayan, Masyarakat Adat Maap di Sebabas, Masyarakat Adat Kancikgh, Kab. Sekadau di Nanga Mongko, Engklun Hulu dan Semerawai dan Masyarakat Adat Taman Meragun. Beberapa lainnya ditumbuhkan di Kaltim, Kalteng dan Sibu (Malaysia). Karena keterbatasan sumber daya pendampingan, beberapa OMA masih terdengar, beberapa lainnya memutasikan diri, dan terus menguatkan diri menjadi eksis.

Bersama aktivis-aktivis lainnya di Tahun 1999, Vermy terlibat mendirikan AMA (Aliansi masyarakat Adat), yang kini berubah menjadi AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantar) Pasca Kongres pertamanya di Jakarta. Saat itu hanya segenlintir orang yang berani memperjuangkan hak-hak masyarakat adat di Kalimantan Barat.

Bagi banyak orang penindasan, pemiskinan dan pembodohan bagi kaum adat (lemah) adalah hal yang wajar, normal dan biasa saja. Tapi tidak bagi Vermy. Ketidakadilan harus di lawan, korban harus diubah menjadi pelaku. 23 Tahun adalah waktu yang panjang bagi seorang aktivis seperti Vermy menggeluti dunianya, menguak ketertindasan masyarakat adat di KalBar. Hingga sampai saat ini Vermy tetap menjadi aktivis Aliansi Masyarakat Adat Kalimantan Barat. Tahun 2017 Vermy didaulat oleh 17 Komunitas adat di Kabupaten Sekadau menjadi Ketua BPH (Badan Pelaksana Harian) Pengurus Daerah AMAN Kabupaten Sekadau.

Menambah pengalaman dan intensitas pembelaannya, Vermy melibatkan dirinya dalam lembaga Pemberdayaan Otonomi Rakyat (POR) Pontianak. Di lembaga inilah Vermy berkeliling Kalimantan (barat, timur, utara dan Selatan) memperkuat masyarakat tertindas terutama kaum Dayak, apapun agamanya.

Politik adalah Jalan Pembebasan

Menurut Vermy ada beberapa alasan kuat mengapa ketidakadilan terus terjadi di Kalimantan Barat. Pertama, Masyarakakat Adat selalu diartikan (didefinisikan) sebaga masyarakat terasing, masyarakat rentan, masyarakat tradisional, peladang berpindah, perambah hutan, masyarakat primitif, suku terbelakang dan penghambat investasi, diposisikan sangat lemah, semakin mempercepat penghancuran sistem dan pola hidupnya. Padahal, ketentuan Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I (ayat (3) UUD 1945 secara jelas dan tegas memerintahkan kepada negara melalui Pemerintah untuk mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya serta identitas budayanya. Masyarakat adat semakin tertindas, kehilangan hak atas wilayah hidupnya, dan menjadi kuli ditanahnya sendiri.

Kedua, Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 35/PUU-X/2012 yang menetapkan hutan adat, bukan hutan Negara seharusnya menjadi titik awal tanggungjawab Negara untuk mengakui, melindungi dan menghormati hak-hak masyarakat adat agar mandiri, mengelola, melindungi dan melestarikan hutan adatnya, sekaligus wilayah adat. Namun hal tersebut tidak terealisasi. Berturut-turut pemerintah pusat telah pula mengeluarkan berbagai kebijakan yang secara tegas dan jelas memberi ruang bagi kelangsungan hidup masyarakat adat.  Namun kemauan politik yang besar untuk memperbaiki keadaan tersebut harus berhadapan dengan pemilik modal yang telah mengantongi ijin-ijin sebelumnya, memanfaatkan situasi politik lokal dan keserakahan oknum-oknum tertentu.

Ketiga, kebijakan pembangunan ini telah menempatkan masyarakat adat sebagai korbannya. Masyarakat adat kehilangan tanah, hutan, pekerjaan (asli), pendapatan, pemukiman, adat istiadat, masa depan dll yang kemudian memposisikan masyarakat adat sebagai warga negara miskin. Sementara basis kehidupan sebagian besar masyarakat kabupaten Sekadau adalah pertanian dan perkebunan tradisional. Mereka sangat membutuhkan adanya perlindungan atas tanah dan wilayah adatnya sebagai wilayah kehidupan mereka.

Keempat, Perijinan yang tumpang tindih. Proses perijinan yang tidak transparan, konflik horizontal dan vertikal, krisis sosial dan ekologis, hukum yang tajam ke bawah akibat kolusi dan korupsi. Masyarakat adat yang hidup di dalam dan disekitar hutan yang kental dengan tradisinya menghadapi tantangan baru, dipaksa untuk ”modern” demi kepentingan pembangunan, mengalahkan kepentingannya (rakyat, adat), berakibat hilangnya hak-hak dan “kemerdekaan”nya sebagai pemilik tanah, dan hutan adat, bahkan tidak jarang mereka kehilangan tanah hidup, pemukiman dan pemakaman.

Kelima, ancaman krisis ekonomi, pangan dan energi pasca turunnya harga komoditi karet dan larangan membakar ladang, membuat Masyarakat Adat di Kabupaten Sekadau menghadapi dilema dalam mengamankan wilayah hidupnya tanah adat, hutan adat dan sumberdaya alam lainnya.

Lima hal ini yang menjadi dasar keputusan Vermy untuk kembali berkontestasi di gelanggang. Berbekal 20 tahun pengalaman memperkuat Masyarakat Adat, ia kembali diutus oleh komunitas adat untuk memperjuangkan hak-haknya melalui jalur parlemen. Vermy maju sebagai Calon DPRD Kabupaten Sekadau Dapil Sekadau 2 (dua) Nomor Urut 2 (dua). Partai Nasdem menjadi pilihan kendaraannya untuk melaju ke gelanggang.

Bagi Vermy, mendorong pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat di Kabupaten Sekadau bukanlah sebuah agenda, melainkan jalan hidup.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*