Yang Muda di Garda Depan

Berangsur-angsur, wajah gerakan masyarakat adat mulai berubah. Wajah itu tak melulu lekat dengan sosok para tetua adat yang tak kenal lelah untuk terus berjuang. Kini, hadir pula mereka yang berparas segar menghiasi garis depan di medan perang. Para pemuda adat — lelaki maupun perempuan — mulai melangkah untuk juga mau berdiri dalam satu barisan yang sama. Begitu pun mereka yang senior telah memberikan ruang bagi generasi penerus untuk ikut ambil bagian.

Salah seorang sosok muda yang turut berdiri di barisan depan itu, ialah Nedine Helena Sulu. Perempuan berusia 33 tahun tersebut akrab disapa Nedin. Perkenalannya dengan gerakan masyarakat adat telah dimulainya sejak duduk di bangku kuliah. Bukan perjalanan yang singkat. Tetapi, dalam waktu yang tidak relatif lama, Nedin kini memegang peran yang tidak kecil di organisasi AMAN di mana ia menjabat sebagai DAMANNAS (Dewan AMAN Nasional) mewakili Region Sulawesi.

Perkenalan dengan AMAN

Kesadaran Nedin terhadap persoalan masyarakat adat muncul di tanah kelahirannya. Ia berasal dari komunitas Walak Tombariri di Wanua Koha, Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara (Sulut).

“Wilayah adat untuk tanah komunal sudah tidak ada. Yang ada tanah keluarga yang jadi warisan,” ungkap Nedin menunjukkan keprihatinan. Ia melanjutkan, “Masyarakat di sini sudah lebih individualis dan otomatis menghilangkan tradisi utama kami, yaitu mapalus. Itu seperti gotong royong atau kesadaran untuk saling bekerja sama, senasib sepenanggungan, dan tolong menolong.”

Tahun 2009, Nedin yang kuliah di jurusan Ilmu Pendidikan Dasar di Universitas Negeri Manado, aktif dalam organisasi mahasiswa dan memulai gerakan budaya bersama teman-temannya.

Dari sanalah Nedin bergabung dengan Mawale Movement di tahun 2010. Itu menjadi awal bagi kerja-kerja Nedin dengan masyarakat adat ke depan. Di tahun yang sama, Nedin berjumpa Pak Matulandi Supit dan mengenal AMAN.

“Kami membentuk gerakan Gema Minahasa — organisasi mahasiswa yang berbasis kebudayaan Minahasa dan berkeanggotaan mahasiswa Minahasa lintas jurusan di tahun 2012,” ungkapnya. Di tahun itulah Nedin resmi bergabung dengan AMAN di mana ia menjadi perwakilan dalam pelatihan kepemimpinan yang diselenggarakan Yayasan Satunama — sebuah LSM nasional di Yogyakarta yang bergerak di bidang penguatan masyarakat sipil.

Nedin yang pernah bekerja di Yayasan Pelita Kasih Abadi untuk isu trafiking anak dan perempuan itu bergabung dengan AMAN sebagai organisasi yang menurutnya punya cita-cita dan amarah yang sama.

Tahun 2013, Nedin sempat menjadi Panitia Muswil AMAN dan menjadi Kepala Biro Ekosob (ekonomi, sosial, dan budaya) di mana ia merintis usaha kulit kayu yang dikembangkan bersama anggota komunitas adat. Di saat yang bersamaan, ia pula mendapat mandat untuk pembentukkan BPAN — organisasi sayap AMAN yang beranggotakan pemuda adat — di Sulut.

Tak lama berselang, kelompok muda di Minahasa pun menguatkan gerakan dengan menyelenggarakan banyak kegaiatan, termasuk Kongres Kaum Muda Minahasa pada 1–3 November 2013. Itu menjadi momentum bagi pemuda dari beragam latar belakang untuk berkolaborasi dengan kelompok di lintas generasi dan bidang: budayawan, praktisi hukum, tokoh agama, tokoh masyarakat, tetua adat, dan lain-lain. Tahun 2015, Nedin dan kawan-kawan pemuda menginisiasi hadirnya Sekolah Adat Koha sebagai ruang belajar-mengajar alternatif yang bertumpu pada basis adat sekaligus menjadi ruang ekspresi, kreatif, dan perjuangan para pemuda adat dalam beragam bentuk karya seni: foto, video, sastra, musik, dan lain-lain.

“Kita sama-sama sadar harus kembali ‘pulang’ dan jalan yang ada sekarang membawa kita tersesat,” ucap Nedin. “Kita merasa semakin meninggalkan rumah kita dan semakin tak tahu kita siapa. Kita tak mau itu terus terjadi. Maka, semakin jauh kita ingin maju ke depan, harus kian dalam menggali masa lalu.”

Kepemimpinan Nedin pun dipupuk dari berbagai kegiatan peningkatan kapasitas yang difasilitasi AMAN serta aktivitas-aktivitas yang ia ikuti.

Menjadi DAMANNAS

Tentu ada banyak tantangan yang dihadapi Nedin dalam mengorganisir komunitas adat, termasuk pemuda di dalamnya, untuk menguatkan gerakan masyarakat adat di tingkat lokal. Sulut punya kekhasan. Di Tanah Nyiur Melambai Minahasa itu, ikatan kekeluargaan masih kuat terjaga. Meski begitu, tak mudah untuk merekatkan kembali semangat mapalus yang meredup. Memang sulit, tapi bukan berarti tak mungkin.

Selain menggerakkan anak-anak muda di Minahasa, Nedin juga memanfaatkan gereja sebagai institusi sosial yang kuat di tengah-tengah komunitas. Dukungan dari kelompok pemuda dan tokoh agama menjadi kunci yang menyertai kesuksesan kegiatan-kegiatan di Sulut. Hadirnya Nedin sebagai pemuda dan perempuan di dalam kerja-kerja AMAN, membuat sosoknya kian dikenal luas dan membawanya pada jabatan strategis di pucuk AMAN.

Terpilihnya Nedine Helena Sulu sebagai DAMANNAS utusan Region Sulawesi itu terjadi ketika dilangsungkannya Kongres Masyarakat Adat Nusantara Kelima (KMAN V) di Kampong Tanjung Gusta, Sumatera Utara pada 15–19 Maret 2017.

Masuknya nama Nedin dalam kandidat DAMANNAS tersebut tak direncanakan dan tidak ia duga. “Saya pergi karena saya jadi fasilitator pendidikan adat untuk musyawarah dan konsolidasi. Tak terpikir saya jadi DAMANNAS,” kata Nedin. Dalam KMAN V, Nedin secara sukarela ikut mengurus akomodasi dan mobilisasi partisipasi 44 delegasi Sulut yang menjadi peserta. Menurutnya, dari sanalah teman-teman percaya pada kemampuan dan potensinya mewakili masyarakat adat Sulut dan Sulawesi pada umumnya.

Pada rapat-rapat sebelum dikukuhkannya Nedin sebagai DAMANNAS, kawan-kawan di Region Sulawesi memiliki pertimbangan khusus. Belum pernah ada DAMANNAS yang berasal dari Sulut (sebelumnya Sulteng dan Sulsel). Selain itu, dorongan terhadap representasi pemuda dan perempuan juga menjadi pertimbangan. Nedin dianggap menjadi sosok yang melengkapi banyak persyaratan. Tetapi, posisi itu tidak serta merta sebagai pemberian, melainkan perjuangan.

“Di aturan, kalau setiap region itu satu lelaki dan satu perempuan. Di ART, aku bersikukuh bicara harus ada representasi pemuda. Dan itu dapat protes karena ini tetua. Tapi, di Minahasa itu tetua tak selalu orangtua dan orangtua itu tak harus juga jadi tetua. Itu diterima dan menjadi catatan.” Nedin melanjutkan dengan bilang bahwa pemuda harus dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan maupun penentu kebijakan. Ia mengibaratkan pemuda layaknya seekor burung yang bisa terbang tinggi jika sayapnya dibiarkan mengepak. Dan keleluasaan untuk mengembangkan sayap lebar-lebar itulah yang menurutnya adalah perjuangan mereklaim ruang.

Pada akhirnya, posisi itu dipercayakan padanya. Terpilihnya Nedin sebagai DAMANNAS termuda merupakan pengalaman yang memunculkan pergumulan bagi dirinya sendiri. Ia mengaku ketika keragu-raguan datang, ia memanjatkan doa dengan lantang. Dalam struktur DAMANNAS, namanya tercantum sebagai Wakil Ketua II DAMANNAS.

“Saya percaya tuntunan leluhur. Kalau dituntun ke sini, maka akan berhadapan dengan persoalan dan solusinya. Jadi saya pikir ini proses pendalaman organisasi. Semakin banyak masalah, saya jadi tahu duduk masalah dan cara penyelesaiannya.” Nedin mengaku pada awalnya ia lebih banyak mendengar dan membaca situasi ketika rapat-rapat DAMANNAS dilakukan. Di luar dugaan, justru ia diberi ruang yang luas dengan sikap para DAMANNAS lain yang ramah dan suportif.

“Saya percaya tuntunan leluhur. Kalau dituntun ke sini, maka akan berhadapan dengan persoalan dan solusinya. Jadi saya pikir ini proses pendalaman organisasi. Semakin banyak masalah, saya jadi tahu duduk masalah dan cara penyelesaiannya.”

Penyelanggaraan RAKERNAS V

Ketika lokasi Rapat Kerja AMAN Nasional Kelima (RAKERNAS V) ditentukan di Wanua Koha, Kab. Minahasa, Sulut, maka secara otomatis DAMANNAS di Sulawesi pun diserahkan tanggung jawab sebagai Ketua Panitia RAKERNAS V. Saat hal tersebut dipercayakan pada Nedin, ia mengungkapkan bahwa tak ada pilihan selain bekerja!

Persiapan yang singkat bukan alasan baginya dan tim besar AMAN untuk menyelenggarakan RAKERNAS yang dihadiri sekitar 400 peserta yang merupakan utusan dari hampir seluruh komunitas adat di Indonesia bersama dengan para aktivis dan tamu undangan dari berbagai kalangan.

Hal pertama yang dilakukan Nedin dan tim adalah menggerakkan jaringan pemuda dan majelis gereja. Dari sanalah ide dan kerja-kerja berkembang. Momentum RAKERNAS V di Koha menjadi kesempatan untuk menguatkan kembali tradisi mapalus.

“Ternyata beban itu ringan kalau kita gotong royong,” ungkap Nedin yang dulu banyak menghabiskan masa kecilnya di kebun. “Itulah mapalus! Jadi saya temukan mapalus itu di sini (penyelenggaraan RAKERNAS V).”

Tua-muda dan lelaki-perempuan ikut bahu membahu dalam suasana gotong royong yang kental. RAKERNAS V terselenggara dengan sukses berkat kerja sama semua pihak. Adalah tradisi mapalus yang memunculkan semangat dan energi dari kerja nyata itu.

Ke depan, Nedin bersama AMAN Sulut, akan melakukan konsolidasi dalam menghadapi Muswil. Pemuda-pemuda adat juga antusias mendokumentasikan banyak hal tentang profil masyarakat adat serta pemajuan seni dan budaya di Minahasa. Di tengah kesibukan barunya menjadi Presidium Swara Manguni Sulut (Koalisi Masyarakat Sipil Sulawesi Utara) yang diinisiasi KPK dan Komisi Yudisial RI, ia bersama kelompok pemuda juga masih akan menghimpun banyak dukungan untuk membangun sekolah adat di kampung.

“Kalau wilayah adat berhasil direbut, hutan adat sudah kembali, laut dan tanah sudah bisa kita kelola, siap tidak generasi penerus mengelola itu?!” tanya Nedin sebagai perenungan. “Jangan-jangan jika kelak itu sudah kita rebut, justru kita tidak siap!”

Bagi Nedin, motivasi itulah yang menjadi semangatnya untuk terus berupaya menguatkan dan mengorganisir kaum muda dalam perjuangan masyarakat adat kini dan nanti.

Saat ini, Nedine Helena Sulu tengah berjuang sebagai calon legislatif (caleg) untuk DPRD Kabupaten Minahasa. Ia maju melalui Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dengan nomor urut dua pada Dapil IV Kabupaten Minahasa.

Pergulatan dalam politik elektoral kali ini memang tak mudah bagi dirinya sebagai politisi utusan masyarakat adat. Sebab, bukan hanya diperlukan kerja keras untuk memenangkan pertarungan, tapi pula upaya untuk melawan sistem dan juga politik uang. Tetapi, sebagai perutusan komunitas adat yang telah dikenal lama dalam melakukan kerja-kerja pendampingan dan pengorganisasian masyarakat, bisa jadi ia sesungguhnya hanya perlu memanen suara dari masyarakat adat di Minahasa.

Nurdiyansah Dalidjo adalah penulis dan peneliti lepas yang memiliki ketertarikan dalam gerakan masyarakat adat di Indonesia. Lebih lanjut tentang penulis, dapat dicek melalui www.penjelajahrempah.com

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*